Advertisemen
Godaan maha berat adalah saat kita merasa lebih dari yang lain. Merasa lebih, bisa membuat kita merendahkan yang lain. Ghibah membicarakan orang lain itu dilarang dan dosanya besar karena dibalik ghibah itu terselip sikap merasa lebih baik daripada orang yang kita jadikan bahan gosip. Kita perlu memuasakan lidah kita agar orang lain selamat dari tajam dan bahayanya lidah kita.
Godaan merasa lebih alim bisa juga menerpa mereka yang rajin beribadah. Saat shalat bacaan kita lebih bagus dari yang lain. Hafalan ayat kita lebih komplit. Ruku' atau sujud kita lebih lama. Kita lebih khusyu' ketimbang yang shalatnya express. Perasaan lebih alim itu harus kita latih untuk kita pendam di bulan Ramadan ini. Puasa adalah ibadah diam. Kita tidak bisa melihat bahwa si A atau si B puasanya lebih nyaring, lebih bagus, lebih dermawan, lebih panjang atau lebih khusyu' seperti aktivitas ibadah lainnya. Puasa adalah menahan, puasa adalah ibadah pasif; bukan aktif. Semua terlihat sama. Yang menilai kualitas puasa kita benar-benar Allah semata. Maka jadikankah puasa sebagai cara kita untuk merasa sama dengan yang lain, bukan merasa lebih alim dari yang lain.
Puasa juga melatih kita untuk tidak selalu merasa lebih punya atau memiliki. Sikap merasa memiliki membuat kita tidak bisa merasakan orang yang dalam kondisi kekurangan. Bahkan di saat kita kurang, masih banyak lagi yang lebih kurang dari kita. Yang merasa memiliki akan terikat dengan apa yang dimilikinya. Puasa melatih kita untuk melepas sesaat dari apa yang kita miliki: makanan, minuman dan pasangan. Bukan karena kita tidak mampu menikmati makan, minum dan menjamah pasangan kita, tapi karena kita memilih untuk menahan diri.
Dalam keseharian kita terus menerus mengandalkan kemampuan kita. Puasa mengajarkan bahwa ada hal di luar apa yang bisa kita usahakan. Kita mampu memasukkan makanan ke dalam mulut, tetapi kita tidak dapat mengontrol rasa lapar di bulan puasa. Kita mampu telentang di tempat tidur, tetapi di bulan puasa kapan kita tidur dan bangun ternyata digerakkan oleh kekuatan lain. Kita mampu berusaha mendapat pujian amal ibadah tetapi kita tidak bisa membuat orang lain kagum dengan puasa kita. Kita mampu menceritakan rahasia ibadah Ramadan, tetapi kita tidak pernah tahu apakah kita telah menjadi bagian dari rahasia itu. Terakhir, kita mampu melakukan amalan puasa, tetapi kita tidak tahu apakah telah tumbuh cinta ilahi. Puasa mengajarkan kita mengakui batas kemampuan diri.
Kalau selepas Ramadan kelak kita masih merasa lebih alim, lebih hebat, lebih mampu dan lebih memiliki daripada yang lain, maka puasa kita belum 'ngefek' ke perilaku kita sehari-hari.
Rabbi,
Kau sapa mereka yang beriman dengan mesra.
Dan Kau suruh mereka berpuasa agar menjadi orang bertakwa.
Aku baru sampai tahap ber-Islam, belum ber-Iman
Namun aku tetap berpuasa.
Duh Gusti...
Maafkan kelancanganku merasa menjadi orang yang turut Kau sapa
Godaan merasa lebih alim bisa juga menerpa mereka yang rajin beribadah. Saat shalat bacaan kita lebih bagus dari yang lain. Hafalan ayat kita lebih komplit. Ruku' atau sujud kita lebih lama. Kita lebih khusyu' ketimbang yang shalatnya express. Perasaan lebih alim itu harus kita latih untuk kita pendam di bulan Ramadan ini. Puasa adalah ibadah diam. Kita tidak bisa melihat bahwa si A atau si B puasanya lebih nyaring, lebih bagus, lebih dermawan, lebih panjang atau lebih khusyu' seperti aktivitas ibadah lainnya. Puasa adalah menahan, puasa adalah ibadah pasif; bukan aktif. Semua terlihat sama. Yang menilai kualitas puasa kita benar-benar Allah semata. Maka jadikankah puasa sebagai cara kita untuk merasa sama dengan yang lain, bukan merasa lebih alim dari yang lain.
Puasa juga melatih kita untuk tidak selalu merasa lebih punya atau memiliki. Sikap merasa memiliki membuat kita tidak bisa merasakan orang yang dalam kondisi kekurangan. Bahkan di saat kita kurang, masih banyak lagi yang lebih kurang dari kita. Yang merasa memiliki akan terikat dengan apa yang dimilikinya. Puasa melatih kita untuk melepas sesaat dari apa yang kita miliki: makanan, minuman dan pasangan. Bukan karena kita tidak mampu menikmati makan, minum dan menjamah pasangan kita, tapi karena kita memilih untuk menahan diri.
Dalam keseharian kita terus menerus mengandalkan kemampuan kita. Puasa mengajarkan bahwa ada hal di luar apa yang bisa kita usahakan. Kita mampu memasukkan makanan ke dalam mulut, tetapi kita tidak dapat mengontrol rasa lapar di bulan puasa. Kita mampu telentang di tempat tidur, tetapi di bulan puasa kapan kita tidur dan bangun ternyata digerakkan oleh kekuatan lain. Kita mampu berusaha mendapat pujian amal ibadah tetapi kita tidak bisa membuat orang lain kagum dengan puasa kita. Kita mampu menceritakan rahasia ibadah Ramadan, tetapi kita tidak pernah tahu apakah kita telah menjadi bagian dari rahasia itu. Terakhir, kita mampu melakukan amalan puasa, tetapi kita tidak tahu apakah telah tumbuh cinta ilahi. Puasa mengajarkan kita mengakui batas kemampuan diri.
Kalau selepas Ramadan kelak kita masih merasa lebih alim, lebih hebat, lebih mampu dan lebih memiliki daripada yang lain, maka puasa kita belum 'ngefek' ke perilaku kita sehari-hari.
Rabbi,
Kau sapa mereka yang beriman dengan mesra.
Dan Kau suruh mereka berpuasa agar menjadi orang bertakwa.
Aku baru sampai tahap ber-Islam, belum ber-Iman
Namun aku tetap berpuasa.
Duh Gusti...
Maafkan kelancanganku merasa menjadi orang yang turut Kau sapa
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Advertisemen