Advertisemen
Kalau kita kaya wawasan, tidak akan gumunan atau kagetan. Itulah salah satu ciri santri yang diutarakan oleh Nur Said, M. Ag dalam bedah buku Santri Membaca Zaman yang diselenggarakan oleh PC IPNU Pati di aula Institut Pesantren Mathaliul Falah (IPMAFA), Pati, Sabtu (24/09/2016) pagi.
Diskusi bedah buku dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya KH Sahal Mahfudz tersebut menghadirkan KH Abdul Ghoffar Rozin (Rektor IPMAFA), H. Nur Said, M.Ag (Penulis buku), Hasan Habibie, S.T, MSi (Pustekkom Kemendikbud RI) dan A. Dimyati, M. Ag.
Dalam diskusi ihwal konten buku, Nur Said sebagai penulis menjelaskan singkat latar belakang terbitnya buku yang ditulis keroyokan 25 penulis alumni Madarasah Tsyawiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus itu. “Hanya lewat wahtsapp, dalam waktu sekitar 2 minggu terkumpul 25 tulisan, langsung edit, layout dan terbit,” terang Said.
Ia juga menyebut bahwa hadirnya buku yang dibidani oleh SantriMenara.Com tersebut memberikan efek akademis dan intelektual bagi kalangan pesantren karena dengan buku, akan hadir dunia pembaca, ruang diskusi dan dinamika pemikiran. “Adanya buku, melahirkan ruang diskusi bahkan sampai kapanpun,” katanya.
Intinya, dalam buku yang dilaunching berberengan dengan Ngaji Bareng Masyayikh Madrasah TBS beberapa waktu lalu itu berisi kegelisahan para penulis santri atas apa yang mereka lihat pasca mondok dan boyong dari pesantren.
Diungkapan oleh Said, buku Santri Membaca Zaman adalah ruang para santri melakukan counter culture kepada paham-paham ideologis Islam puritan dan radikal yang selama ini sering mengganggu muslimin ahlus sunnah wal jama’ah.
“Teman-teman yang menulis ternyata sudah mulai prihatin batas gerakan wahabi yang puritan dan radikal,” ungkap Said. Buku yang dibedah itu, lanjutnya, adalah bagian cara para santri memperteguh semangat dan kekuatan santri.
“Tidak ada motivasi apa-apa, hanya ungkapan cinta kepada masyayikh dan semangat iqra’ dalam momentum harlah madrasah kemarin,” tambah Said. Nampak dalam buku ini, ujarnya, ciri-ciri santri, antara lain “santri itu teguh memegang akidah aswaja, toleran, dan kaya sudut pandang,” tandasnya di forum.
Keterangan tentang sejarah terbitnya buku tersebut ditanggapai positif oleh reviewer buku pertama, yakni Hasan Chabibie. Mantan Ketua IPNU Jawa Tengah ini berharap buku terbitan para Santri Menara ini paling tidak bisa menyumbang peningkatan literasi masyarakat kita yang masih lemah, peringkat ke 60 dari negara-negara yang disurvei. “Masyarakat kita sering tidak lengkap membaca konflik,” jelas Hasan.
Ia juga mengingatkan kalau literasi teknologi komunikasi dan informasi dunia santri dan pesantren saat ini sudah bergerak luar biasa sejak 10 tahun. “Orang mulai bangga memposting foto-foto di pesantren. Orang mulai bangga mempublikasi nadzom-nadzom yang dibaca di bilik-bilik kecil di pesantren,” terang Hasan berharap buku Santri Membaca Zaman bisa meneguhkan kebanggaan identitas santri seperti bangganya pemilik akun instagram santri memposting kegiatan mereka di pondok pesantren.
Meski begitu, A Dimyati, M.Ag, Rektor 1 IPMAFA yang menjadi pengulas kedua menyebut bahwa judul buku yang lebih pas adalah “Santri di Pusaran Zaman.” Alasannya, para santri di buku tersebut gelisah atas apa yang ia baca dan ditafsirkan setelah jadi alumni pondok. Itu kritik pertama dari Dimyati.
Menurut Dimyati, santri selama ini mengalami kesenjangan dengan realitas. Seakan-akan santri terpisah dari dunia nyata. Ia juga mengkritik cara berpikir santri yang mudah menerima tanpa kritis karena kagetan dan mudah kagum.
Selain itu, kesenjangan eknomi ternyata tidak membuat santri gelisah dan bergerak secara makro dan tersistem. Sistem ekonomi yang menidas pada kenyataannya memang tidak membuat para santri merasa terancam.
Ini karena di kalangan para santri masih belum ada kesadaran massif untuk melakukan perubahan sosial. Padahal, dalam sejarahnya, santri zaman dulu adalah penggerak masyarakat sehingga menjadi berdaya.
“Santri itu tidak cukup hanya pintar, sholih dan jadug. Santri juga harus ada yang punya kemampuan untuk mengorganisir, mengonsolidasi untuk menggerakkan masyarakat,” kata Dimyati.
“Terus santri itu tugasnya apa sih sebetulnya, kok semuanya kayaknya dibebankan kepada santri semua seperti di buku ini?” tanya Gus Rozin, reviewer terakhir dari buku yang disebut Dimyati sebagai otokritik dari alumni kepada santri, pesantren dan sistem pendidikan di dalamnya itu. Duh. Berat juga jadi santri. (smc-212) (Sumber: SantriMenara)
Diskusi bedah buku dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya KH Sahal Mahfudz tersebut menghadirkan KH Abdul Ghoffar Rozin (Rektor IPMAFA), H. Nur Said, M.Ag (Penulis buku), Hasan Habibie, S.T, MSi (Pustekkom Kemendikbud RI) dan A. Dimyati, M. Ag.
Dalam diskusi ihwal konten buku, Nur Said sebagai penulis menjelaskan singkat latar belakang terbitnya buku yang ditulis keroyokan 25 penulis alumni Madarasah Tsyawiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus itu. “Hanya lewat wahtsapp, dalam waktu sekitar 2 minggu terkumpul 25 tulisan, langsung edit, layout dan terbit,” terang Said.
Ia juga menyebut bahwa hadirnya buku yang dibidani oleh SantriMenara.Com tersebut memberikan efek akademis dan intelektual bagi kalangan pesantren karena dengan buku, akan hadir dunia pembaca, ruang diskusi dan dinamika pemikiran. “Adanya buku, melahirkan ruang diskusi bahkan sampai kapanpun,” katanya.
Intinya, dalam buku yang dilaunching berberengan dengan Ngaji Bareng Masyayikh Madrasah TBS beberapa waktu lalu itu berisi kegelisahan para penulis santri atas apa yang mereka lihat pasca mondok dan boyong dari pesantren.
Diungkapan oleh Said, buku Santri Membaca Zaman adalah ruang para santri melakukan counter culture kepada paham-paham ideologis Islam puritan dan radikal yang selama ini sering mengganggu muslimin ahlus sunnah wal jama’ah.
“Teman-teman yang menulis ternyata sudah mulai prihatin batas gerakan wahabi yang puritan dan radikal,” ungkap Said. Buku yang dibedah itu, lanjutnya, adalah bagian cara para santri memperteguh semangat dan kekuatan santri.
“Tidak ada motivasi apa-apa, hanya ungkapan cinta kepada masyayikh dan semangat iqra’ dalam momentum harlah madrasah kemarin,” tambah Said. Nampak dalam buku ini, ujarnya, ciri-ciri santri, antara lain “santri itu teguh memegang akidah aswaja, toleran, dan kaya sudut pandang,” tandasnya di forum.
Keterangan tentang sejarah terbitnya buku tersebut ditanggapai positif oleh reviewer buku pertama, yakni Hasan Chabibie. Mantan Ketua IPNU Jawa Tengah ini berharap buku terbitan para Santri Menara ini paling tidak bisa menyumbang peningkatan literasi masyarakat kita yang masih lemah, peringkat ke 60 dari negara-negara yang disurvei. “Masyarakat kita sering tidak lengkap membaca konflik,” jelas Hasan.
Ia juga mengingatkan kalau literasi teknologi komunikasi dan informasi dunia santri dan pesantren saat ini sudah bergerak luar biasa sejak 10 tahun. “Orang mulai bangga memposting foto-foto di pesantren. Orang mulai bangga mempublikasi nadzom-nadzom yang dibaca di bilik-bilik kecil di pesantren,” terang Hasan berharap buku Santri Membaca Zaman bisa meneguhkan kebanggaan identitas santri seperti bangganya pemilik akun instagram santri memposting kegiatan mereka di pondok pesantren.
Meski begitu, A Dimyati, M.Ag, Rektor 1 IPMAFA yang menjadi pengulas kedua menyebut bahwa judul buku yang lebih pas adalah “Santri di Pusaran Zaman.” Alasannya, para santri di buku tersebut gelisah atas apa yang ia baca dan ditafsirkan setelah jadi alumni pondok. Itu kritik pertama dari Dimyati.
Menurut Dimyati, santri selama ini mengalami kesenjangan dengan realitas. Seakan-akan santri terpisah dari dunia nyata. Ia juga mengkritik cara berpikir santri yang mudah menerima tanpa kritis karena kagetan dan mudah kagum.
Selain itu, kesenjangan eknomi ternyata tidak membuat santri gelisah dan bergerak secara makro dan tersistem. Sistem ekonomi yang menidas pada kenyataannya memang tidak membuat para santri merasa terancam.
Ini karena di kalangan para santri masih belum ada kesadaran massif untuk melakukan perubahan sosial. Padahal, dalam sejarahnya, santri zaman dulu adalah penggerak masyarakat sehingga menjadi berdaya.
“Santri itu tidak cukup hanya pintar, sholih dan jadug. Santri juga harus ada yang punya kemampuan untuk mengorganisir, mengonsolidasi untuk menggerakkan masyarakat,” kata Dimyati.
“Terus santri itu tugasnya apa sih sebetulnya, kok semuanya kayaknya dibebankan kepada santri semua seperti di buku ini?” tanya Gus Rozin, reviewer terakhir dari buku yang disebut Dimyati sebagai otokritik dari alumni kepada santri, pesantren dan sistem pendidikan di dalamnya itu. Duh. Berat juga jadi santri. (smc-212) (Sumber: SantriMenara)
Advertisemen