Advertisemen
Nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazâlî Ath-Thûsî tidaklah asing bagi dunia ilmu, khususnya Islam. Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir pada tahun 450 H di Thûs. Kedua orang tua beliau berasal dari keluarga miskin yang baik. Ayah beliau seorang pemintal kain yang suka mengunjungi para ulama, menghadiri majelis ilmu dan membantu mereka sesuai dengan kemampuannya. Jika mendengar untaian nasihat mereka, ia menangis; memohon agar Allâh mengaruniainya seorang putra yang berilmu. Allâh pun mengabulkan doanya. Beliau memperoleh seorang putra yang bernama Muhammad yang di kemudian hari kita kenal sebagai Imam Ghazâlî.
Sayang, ayah yang saleh ini belum sempat melihat secara langsung keberhasilan putranya dan buah dari doanya. Ketika Imam Ghazâlî masih kanak-kanak, ayah beliau meninggal dunia. Sebelum meninggal, ia telah menitipkan Imam Ghazâlî dan kakaknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi yang miskin. Dalam pesannya kepada sufi tersebut ia berkata, "Selama hidupku, aku tidak sempat belajar menulis. Hal ini membuatku sangat sedih. Kuharap kedua anakku ini dapat menutupi kekuranganku ini. Ajarilah keduanya menulis. Tak jadi soal jika kau habiskan sedikit warisan ini untuk membiayai keperluan mereka."
Keduanya menyetujui usulan Sang sufi kemudian menuntut ilmu di sebuah sekolah guna mendapatkan makanan penyambung nyawa. Pengalaman masa kecil ini selalu beliau kenang, Imam Ghazâlî berkata, "Dahulu kami menuntut ilmu bukan karena Allâh (untuk mencari makan), tetapi ilmu itu tidak mengizinkannya, sehingga akhirnya kami mencari ilmu hanya karena Allâh."
Dari Thûs, Imam Ghazâlî menuju Jurjan dan belajar kepada sejumlah ulama di kota tersebut. Meskipun masih kecil, tetapi beliau rajin mencatat berbagai keterangan yang disampaikan para gurunya. Catatan-catatan itu kemudian beliau jilid menjadi sebuah buku. Karena memiliki buku catatan, Imam Ghazâlî tidak menghapal ilmunya. Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju kota kelahirannya, rombongan beliau dihadang oleh sekawanan perampok. Mereka merampok segala-galanya. Segala perlengkapan beliau termasuk buku catatan tersebut juga diambil. Dengan berani, Imam Ghazâlî mengejar kawanan perampok itu. Merasa dibuntuti, pimpinan perampok itu berpaling dan berkata, "Celaka kau, kembalilah atau kubunuh kau."
Imam Ghazâlî tak gentar, beliau berkata kepadanya, "Dengan kebesaran Allâh yang kepada-Nya kau memohon keselamatan, tolong kembalikan bukuku. Ia tidak bermanfaat bagi kalian."
"Buku apa?" tanya pimpinan perampok itu.
"Sebuah buku di dalam tas kecil itu. Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk mendengarkan petuah para ulama dan kemudian semua keterangan mereka kucatat dalam buku itu," jawab Imam Ghazâlî.
Pimpinan perampok itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, "Sekarang kau tidak mengetahui apa-apa. Bukumu bersama kami. Kau tidak memiliki ilmu lagi."
Kemudian ia perintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku itu kepada Imam Ghazâlî. Imam Ghazâlî menyadari bahwa Allahlah yang menuntun pimpinan perampok tersebut untuk berbicara seperti itu.
Setibanya di Thûs, Imam Ghazâlî berjuang menghapalkan semua catatannya. Dalam waktu tiga tahun, beliau berhasil menghapalnya. Setelah itu tidak ada lagi perampok yang dapat merampas ilmunya.
Sayang, ayah yang saleh ini belum sempat melihat secara langsung keberhasilan putranya dan buah dari doanya. Ketika Imam Ghazâlî masih kanak-kanak, ayah beliau meninggal dunia. Sebelum meninggal, ia telah menitipkan Imam Ghazâlî dan kakaknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi yang miskin. Dalam pesannya kepada sufi tersebut ia berkata, "Selama hidupku, aku tidak sempat belajar menulis. Hal ini membuatku sangat sedih. Kuharap kedua anakku ini dapat menutupi kekuranganku ini. Ajarilah keduanya menulis. Tak jadi soal jika kau habiskan sedikit warisan ini untuk membiayai keperluan mereka."
Keduanya menyetujui usulan Sang sufi kemudian menuntut ilmu di sebuah sekolah guna mendapatkan makanan penyambung nyawa. Pengalaman masa kecil ini selalu beliau kenang, Imam Ghazâlî berkata, "Dahulu kami menuntut ilmu bukan karena Allâh (untuk mencari makan), tetapi ilmu itu tidak mengizinkannya, sehingga akhirnya kami mencari ilmu hanya karena Allâh."
Dari Thûs, Imam Ghazâlî menuju Jurjan dan belajar kepada sejumlah ulama di kota tersebut. Meskipun masih kecil, tetapi beliau rajin mencatat berbagai keterangan yang disampaikan para gurunya. Catatan-catatan itu kemudian beliau jilid menjadi sebuah buku. Karena memiliki buku catatan, Imam Ghazâlî tidak menghapal ilmunya. Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju kota kelahirannya, rombongan beliau dihadang oleh sekawanan perampok. Mereka merampok segala-galanya. Segala perlengkapan beliau termasuk buku catatan tersebut juga diambil. Dengan berani, Imam Ghazâlî mengejar kawanan perampok itu. Merasa dibuntuti, pimpinan perampok itu berpaling dan berkata, "Celaka kau, kembalilah atau kubunuh kau."
Imam Ghazâlî tak gentar, beliau berkata kepadanya, "Dengan kebesaran Allâh yang kepada-Nya kau memohon keselamatan, tolong kembalikan bukuku. Ia tidak bermanfaat bagi kalian."
"Buku apa?" tanya pimpinan perampok itu.
"Sebuah buku di dalam tas kecil itu. Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk mendengarkan petuah para ulama dan kemudian semua keterangan mereka kucatat dalam buku itu," jawab Imam Ghazâlî.
Pimpinan perampok itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, "Sekarang kau tidak mengetahui apa-apa. Bukumu bersama kami. Kau tidak memiliki ilmu lagi."
Kemudian ia perintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku itu kepada Imam Ghazâlî. Imam Ghazâlî menyadari bahwa Allahlah yang menuntun pimpinan perampok tersebut untuk berbicara seperti itu.
Setibanya di Thûs, Imam Ghazâlî berjuang menghapalkan semua catatannya. Dalam waktu tiga tahun, beliau berhasil menghapalnya. Setelah itu tidak ada lagi perampok yang dapat merampas ilmunya.
Setelah itu Imam Ghazâlî merantau keberbagai kota untuk menuntut ilmu hingga menjadi ulama besar yang berjiwa mulia. Akhirnya pada hari Senin 505 H, dalam usia 55 tahun, Imam Ghazâlî berpulang ke rahmatullâh. Kakak beliau Ahmad berkata, "Pada Subuh hari Senin, adikku berwudhu dan menunaikan shalat. Setelah itu ia berkata, 'Ambilkan aku kain kafan.' Setelah menciumi kain kafan itu dan meletakkannya di atas kedua matanya, ia berkata, 'Aku siap menghadap kepada Allâh yang Maha Memiliki.' Ia lalu menjulurkan kedua kakinya, berbaring menghadap kiblat, dan meninggalkan dunia yang fana ini menuju keridhaan Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allâh menempatkan beliau di Surga yang paling tinggi, bersama para Nabi, syuhada dan shalihin.
Oleh Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
Advertisemen