Advertisemen
Para ulama berdiskusi mengenai kasus seperti ini: di siang hari Ramadan kita lupa minum atau makan, apakah kemudian kita wajib meng-qadha-nya (mengganti di hari lain) di luar Ramadan atau tidak? Kasus ini dijadikan topik bahasan oleh Dr Muhammad Hasan Abdul Ghaffar dalam kitabnya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Ushuliyyah fi ikhtilaf al-Fuqaha mengenai perbedaan pendapat ulama dikarenakan masalah ada atau tiadanya Hadis dalam soal semacam ini.
Mari kita simak bersama, bagaimana para ulama mendiskusikannya. Pertama, para ulama sepakat bahwa minum/makan karena lupa di bulan puasa tidak berdosa. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah puasa yang sudah makan/minum karena lupa saat itu sudah dianggap cukup memenuhi persyaratan puasa atau tidak. Jikalau sudah dianggap cukup, maka tidak perlu meng-qadha-nya (menggantinya di hari lain). Kalau dianggap tidak memenuhi syarat dan rukun puasa, maka harus diganti di hari lain.
Mayoritas ulama (Syafi'i, Hanbali dan Hanafi) mengatakan orang tersebut tidak perlu meng-qadha puasanya. Ini berbeda dengan opini mazhab Maliki.
Semua mazhab fiqh itu berdasarkan dalil. Jadi, mereka tidak sembarangan mengeluarkan pendapat. Pangkal persoalan dalam kasus ini adalah adanya riwayat Hadits yang diterima oleh kelompok mayoritas, akan tetapi keberadaan Hadits dalam hal ini ditolak oleh para ulama mazhab Maliki.
Hadits pertama riwayat Abu Hurairah, "Barangsiapa yang lupa sementara dia dalam kondisi puasa, kemudian makan atau minum. Maka hendaknya dia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.”
Hadits ini disepakati oleh empat mazhab, tapi mereka berbeda dalam memahami nya. Imam Malik memahaminya: puasa orang yang lupa tersebut sudah batal, dan dia dipersilakan untuk tidak meneruskan makan-minumnya sampai sempurnanya hari itu. Hadis ini tidak mengatakan bahwa orang tersebut tidak perlu meng-qadha, karena itu Imam Malik berpendapat orang yang lupa ini tetap harus meng-qadha puasanya.
Jumhur ulama menyodorkan hadits kedua, yang terdapat dalam Sunan Al-Daruqutni dengan tambahan kalimat "dan dia tidak perlu meng-qadha-nya". Imam Malik tidak menerima riwayat kedua ini. Bahkan menurut beliau riwayat kedua ini bertentangan dengan kaidah umum syariah mengenai puasa, yaitu semua ibadah itu ada syarat dan rukunnya. Kaidah umum ini berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak. Misalnya, tanpa wudhu, shalat itu tidak sah.
Nah, dalam hal puasa, rukunnya itu harus menahan diri dari makan, minum dan syahwat. Ketika sudah dilanggar ketentuan ini maka menurut Imam Malik batallah puasanya baik karena sengaja atau lupa. Hanya saja kalau karena lupa maka pelakunya tidak berdosa berdasarkan riwayat Hadits orang yang lupa atau terpaksa itu tidak berdosa.
Hadis Daruqutni di atas yang menyebutkan tidak perlunya memg-qadha, bagi Imam Malik, kalaupun dianggap sahih, maka ia hanyalah hadits ahad, yang tidak bisa menggugurkan kaidah umum keagamaan dalam hal syarat dan rukun ibadah.
Yang menarik, ternyata Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya justru mensahihkan Hadits riwayat Daruqutni di atas dan berbeda pandangan dengan Imam Malik. Hal ini menarik karena Imam Qurthubi sebenarnya mengikuti mazhab Maliki, namun dalam kasus ini beliau menganggap argumentasi Imam Syafi'i dan jumhur ulama lebih kuat.
Saya baru saja meringkaskan bagaimana para ulama berdiskusi dalam masalah fiqh. Sudah merupakan watak fiqh untuk berbeda pendapat. Penjelasan Dr Muhammad Hasan Abdul Ghaffar dalam kitabnya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Ushuliyyah fi ikhtilaf al-Fuqaha paling tidak mengilustrasikan kepada kita bagaimana para ulama memahami dalil umum dan dalil khusus, dan bagaimana menerima atau menolak keberadaan dan/atau kedudukan riwayat Hadits.
Dalil dari al-Qur'an dan Hadits itu bukan seperti kacang goreng, yang begitu terhidang, lantas dimakan begitu saja. Para ulama memeras otak mereka sebelum menerima atau menolak hidangan dalil tersebut. Yang paling aman, selagi mereka berpikir keras, kita kantongin saja dulu kacang gorengnya buat dimakan entar pas buka puasa, siapa tahu kita lupa dan merogoh kacangnya :)
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Mari kita simak bersama, bagaimana para ulama mendiskusikannya. Pertama, para ulama sepakat bahwa minum/makan karena lupa di bulan puasa tidak berdosa. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah puasa yang sudah makan/minum karena lupa saat itu sudah dianggap cukup memenuhi persyaratan puasa atau tidak. Jikalau sudah dianggap cukup, maka tidak perlu meng-qadha-nya (menggantinya di hari lain). Kalau dianggap tidak memenuhi syarat dan rukun puasa, maka harus diganti di hari lain.
Mayoritas ulama (Syafi'i, Hanbali dan Hanafi) mengatakan orang tersebut tidak perlu meng-qadha puasanya. Ini berbeda dengan opini mazhab Maliki.
Semua mazhab fiqh itu berdasarkan dalil. Jadi, mereka tidak sembarangan mengeluarkan pendapat. Pangkal persoalan dalam kasus ini adalah adanya riwayat Hadits yang diterima oleh kelompok mayoritas, akan tetapi keberadaan Hadits dalam hal ini ditolak oleh para ulama mazhab Maliki.
Hadits pertama riwayat Abu Hurairah, "Barangsiapa yang lupa sementara dia dalam kondisi puasa, kemudian makan atau minum. Maka hendaknya dia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.”
Hadits ini disepakati oleh empat mazhab, tapi mereka berbeda dalam memahami nya. Imam Malik memahaminya: puasa orang yang lupa tersebut sudah batal, dan dia dipersilakan untuk tidak meneruskan makan-minumnya sampai sempurnanya hari itu. Hadis ini tidak mengatakan bahwa orang tersebut tidak perlu meng-qadha, karena itu Imam Malik berpendapat orang yang lupa ini tetap harus meng-qadha puasanya.
Jumhur ulama menyodorkan hadits kedua, yang terdapat dalam Sunan Al-Daruqutni dengan tambahan kalimat "dan dia tidak perlu meng-qadha-nya". Imam Malik tidak menerima riwayat kedua ini. Bahkan menurut beliau riwayat kedua ini bertentangan dengan kaidah umum syariah mengenai puasa, yaitu semua ibadah itu ada syarat dan rukunnya. Kaidah umum ini berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak. Misalnya, tanpa wudhu, shalat itu tidak sah.
Nah, dalam hal puasa, rukunnya itu harus menahan diri dari makan, minum dan syahwat. Ketika sudah dilanggar ketentuan ini maka menurut Imam Malik batallah puasanya baik karena sengaja atau lupa. Hanya saja kalau karena lupa maka pelakunya tidak berdosa berdasarkan riwayat Hadits orang yang lupa atau terpaksa itu tidak berdosa.
Hadis Daruqutni di atas yang menyebutkan tidak perlunya memg-qadha, bagi Imam Malik, kalaupun dianggap sahih, maka ia hanyalah hadits ahad, yang tidak bisa menggugurkan kaidah umum keagamaan dalam hal syarat dan rukun ibadah.
Yang menarik, ternyata Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya justru mensahihkan Hadits riwayat Daruqutni di atas dan berbeda pandangan dengan Imam Malik. Hal ini menarik karena Imam Qurthubi sebenarnya mengikuti mazhab Maliki, namun dalam kasus ini beliau menganggap argumentasi Imam Syafi'i dan jumhur ulama lebih kuat.
Saya baru saja meringkaskan bagaimana para ulama berdiskusi dalam masalah fiqh. Sudah merupakan watak fiqh untuk berbeda pendapat. Penjelasan Dr Muhammad Hasan Abdul Ghaffar dalam kitabnya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Ushuliyyah fi ikhtilaf al-Fuqaha paling tidak mengilustrasikan kepada kita bagaimana para ulama memahami dalil umum dan dalil khusus, dan bagaimana menerima atau menolak keberadaan dan/atau kedudukan riwayat Hadits.
Follow akun Telegram kami di : Berita Islami MenginspirasiJadi, kesimpulannya orang yang makan/minum karena lupa di siang hari Ramadan tidak berdosa, tidak batal puasanya dan tidak perlu menggantinya di hari lain. Pendapat jumhur ulama lebih kuat dalam hal ini dibanding pendapat Imam Malik. Kalau ada yang berpegang pada mazhab Maliki dalam kasus ini, ya kita saling menghormati saja, dan kita persilakan yang bersangkutan andaikata lupa makan/minum di saat berpuasa untuk menggantinya di hari lain.
Dalil dari al-Qur'an dan Hadits itu bukan seperti kacang goreng, yang begitu terhidang, lantas dimakan begitu saja. Para ulama memeras otak mereka sebelum menerima atau menolak hidangan dalil tersebut. Yang paling aman, selagi mereka berpikir keras, kita kantongin saja dulu kacang gorengnya buat dimakan entar pas buka puasa, siapa tahu kita lupa dan merogoh kacangnya :)
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Advertisemen