Advertisemen
Tepat pada tanggal 22 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Hal ini disambut baik dari semua kalangan khususnya bagi para santri. Tak hanya menjadi pemacu semangat menimba ilmu namun juga menumbuhkan jiwa nasionalisme kaum santri, mengingat pada tanggal yang sama digelorakan pula resolusi Jihad oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim As'ari, 22 Oktober 1945 silam.
Tak hanya sebagai seremonial belaka, Hari Santri juga bisa menjadi refleksi serta nostalgia bagi alumni - alumni Pondok pesantren. Salah satunya Ustadz Yusuf Mansur. Melalui akun Instagramnya, Beliau bercerita masa - masa dimana Beliau saat nyantri. Bagaimana cerita indah nya? berikut selengkapnya.
Sebagai rasa syukur, memperingati hari santri nasional, anak - anak santri Darul Quran, dan keluarga besarnya, khataman al Qur'an. Semoga Allah menjadikan semua santri, dan semua yang bukan santri, adalah hamba - hamba Nya yang saleh salehah. Dan sesiapa yang berkhidmat pada santri, semoga semua malaikat diperintahkan Allah, dan juga semua makhluk di langit dan bumi, berkhidmat padanya. Aaamiin.
Saya tidak pernah menyesal menjadi santri.
Saya tidak pernah menyesal menjadi santri.
Iseng. Jail. Canda. Menjadi bagian dari warna ketika menjadi santri. Bahkan sesekali perebut omong. Musuhan. Berantem. Menjadi bumbu.
Apa aja yang ada di kehidupan di luar pesantren, nyaris ada di dalam pesantren. Secara mikronya.
Dan ternyata, semua berguna saat kami, para santri, keluar pesantren. Kami relatif lebih siap. Sebab kayak apa aja warna kehidupan di luar, boleh jadi, sudah kami dapati saat kami nyantren.
Berbaur dengan beragam latar belakang akhlak, sifat, sikap, pembawaan, karakter, tiap - tiap kawan yang berbeda. Membuat kami seperti disiapkan kelak menghadapi banyak sekali juga warna yang berbeda di kehidupan selepas nyantren.
Kedewasaan, perjuangan bertahan hidup, kesiapan lepas dan jauh dari orang tua dan keluarga, kami para santri, beruntung. Bisa lebih cepat menikmati seluruh pembelajaran dan pengalamannya, dibanding kawan - kawan yang ga nyantren.
Apa aja yang ada di kehidupan di luar pesantren, nyaris ada di dalam pesantren. Secara mikronya.
Dan ternyata, semua berguna saat kami, para santri, keluar pesantren. Kami relatif lebih siap. Sebab kayak apa aja warna kehidupan di luar, boleh jadi, sudah kami dapati saat kami nyantren.
Berbaur dengan beragam latar belakang akhlak, sifat, sikap, pembawaan, karakter, tiap - tiap kawan yang berbeda. Membuat kami seperti disiapkan kelak menghadapi banyak sekali juga warna yang berbeda di kehidupan selepas nyantren.
Kedewasaan, perjuangan bertahan hidup, kesiapan lepas dan jauh dari orang tua dan keluarga, kami para santri, beruntung. Bisa lebih cepat menikmati seluruh pembelajaran dan pengalamannya, dibanding kawan - kawan yang ga nyantren.
Mereka yang ga nyantren, bisa jadi nanti baru belajar hidup bareng kawan setelah ngekos. Di bangku kuliah. Atau malah bisa jadi nanti di asrama saat bekerja.
Sebagiannya, baru belajar hidup bareng, baru setelah berumah tangga. Sebelumnya ada yang belom pernah sama sekali lepas dan jauh dari orang tua.
Tambah lagi beruntungnya santri, di saat bisa jadi orang2 penuh kebersamaan dalam canda dan maksiat. Canda dan dosa. Canda dan kesalahan. Para santri, akrab dan penuh dengan canda dan ketaatan. Canda dan kesalehan. Semog istiqomah selepas nyantren.
Namanya juga pohon. Pasti ada aja daun atau ranting, atau buah yang busuk, gagal, jelek. Santri pun begitu. Ga semua santri pastinya bakal baik. Tapi kami percaya, semua bakal berproses menuju baik.
Sebagiannya, baru belajar hidup bareng, baru setelah berumah tangga. Sebelumnya ada yang belom pernah sama sekali lepas dan jauh dari orang tua.
Tambah lagi beruntungnya santri, di saat bisa jadi orang2 penuh kebersamaan dalam canda dan maksiat. Canda dan dosa. Canda dan kesalahan. Para santri, akrab dan penuh dengan canda dan ketaatan. Canda dan kesalehan. Semog istiqomah selepas nyantren.
Namanya juga pohon. Pasti ada aja daun atau ranting, atau buah yang busuk, gagal, jelek. Santri pun begitu. Ga semua santri pastinya bakal baik. Tapi kami percaya, semua bakal berproses menuju baik.
Seorang walisantri berkisah, "Saya menguatkan hati. Ga apa2 berpisah sementara dg anak di dunia. Melepasnya nyantren. Dg doa dan harapan, semoga bisa ngumpul nanti bersama di surga. Daripada sering ngumpul di rumah, banyak ngumpulnya. Tapi nanti berpisah di akhirat. Sebab ada yang ke surga. Ada yang ke neraka." Tidak ada jaminan. Jelas. Bahwa dengan nyantren, seorang anak pasti jadi ahli surga. Tidak ada jaminan.
Namun para santri merasakan. Bahkan saat di rumah, ketika libur, astaghfirullah, kebiasaan baik, sebab ramai2, kumpul, berjamaah, emang beda. Lalu bisa shubuh, zuhur, ashar, maghrib, isya, berjamaah. Lah, saat di rumah? Ya kita tau lah. Gimana kita. Gimana ayah ibu. Gimana kakak adik.
Haruskah nyantren terus? Seumur hidup? Ya. Santri ya tetap santri. Udah jadi apapun, tetap santri. Pesantrennya adalah kehidupan ini. Dunia ini. Saat ada santri yang kelak jadi presiden, maka ia pun tetap harus berjiwa santri. (dhinz/nvb.)
Namun para santri merasakan. Bahkan saat di rumah, ketika libur, astaghfirullah, kebiasaan baik, sebab ramai2, kumpul, berjamaah, emang beda. Lalu bisa shubuh, zuhur, ashar, maghrib, isya, berjamaah. Lah, saat di rumah? Ya kita tau lah. Gimana kita. Gimana ayah ibu. Gimana kakak adik.
Haruskah nyantren terus? Seumur hidup? Ya. Santri ya tetap santri. Udah jadi apapun, tetap santri. Pesantrennya adalah kehidupan ini. Dunia ini. Saat ada santri yang kelak jadi presiden, maka ia pun tetap harus berjiwa santri. (dhinz/nvb.)
Advertisemen